Infonegerijambi.com, – Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) merespon soal Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) soal tata cara penagihan oleh lembaga keuangan. POJK tersebut tertera pada POJK Nomor 22 Tahun 2023.
Diketahui, dalam aturan terbaru ini, ada tujuh poin utama yang membatasi pihak debt collector dalam menagih utang kepada nasabah perusahaan pembiayaan (Multifinance) atau Pinjol Peer to Peer (P2P) Lending.
Ketua Umum APPI Suwandi Wiratno mengingatkan, selain sisi perlindungan konsumen, POJK tersebut juga mengatur soal perlindungan kepada Pelaku Jasa Keuangan (PUJK) atas tindakan debitur yang beritikad tidak baik.
“Kalau debitur yang tidak baik, apakah POJK akan melindungi? Kan gak mungkin, kalau semuanya seperti itu, kita, perusahaan pembiayaan, perbankan juga, tidak ada yang mau ngasih pinjam orang duit lagi, kalau mau ngasih juga mungkin DP-nya 50-60% kali,” ujar Suwandi kepada CNBC Indonesia pada Kamis, (25/1/2024).
Oleh sebab itu, APPI meminta OJK untuk mengklarifikasi lebih lanjut terkait aturan tersebut agar tak terjadi multitafsir saat lembaga keuangan melakukan penagihan.
“Ini sudah kita lakukan kemarin pada tanggal 22 Januari, kita sudah ketemu (dengan OJK) dan ya kita sedang mengatur waktu, kapan saatnya OJK juga menjelaskan kepada publik, supaya jangan salah paham,” kata Suwandi.
Bila menilik Pasal 6 POJK 22/2023, di sana memang menjelaskan terkait perlindungan hukum bagi PUJK yang berurusan dengan konsumen beritikad buruk. Misalnya, ketika konsumen memberikan informasi dan/atau dokumen yang tidak jelas, tidak akurat, salah, dan menyesatkan.
Ada pula perlindungan bagi konsumen yang menolak melaksanakan kewajiban sebagaimana tercantum dalam perjanjian dan menggunakan cara ancaman atau kekerasan.
Lalu, konsumen yang mengalihkan barang yang menjadi agunan pada produk kredit atau pembiayaan tanpa persetujuan PUJK. Serta, konsumen yang menyerahkan agunan yang bersumber dari tindak kejahatan.
Di sisi lain, Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar mengatakan, para pelaku pinjol sepakat untuk melindungi konsumen dengan menegakkan kepatuhan ketat terhadap kode etik, khususnya dalam praktik penagihan sesuai dengan POJK ini.
“Kita tetap mengikuti aturan OJK, sebenarnya aturan ini bertujuan untuk mengedukasi untuk lebih disiplin dan prudent (baik bagi konsumen dan perusahaan),” kata Entjik saat dikonfirmasi Jumat, (26/1/2024).
AFPI juga berkomitmen untuk disiplin terhadap anggota dan mitra yang tidak mematuhi standar ini, serta mendukung pengawasan yang efektif dalam industri fintech.
Aturan Baru Debt Collector
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman mengatakan dalam penagihan utang, perusahaan fintech bertanggung jawab untuk memastikan proses penagihan mematuhi etika yang telah ditentukan.
“Dalam penagihan penyelenggara memastikan tenaga penagihan harus mematuhi etika penagihan,” ujarnya, beberapa waktu lalu.
OJK juga menegaskan bahwa penyelenggara dilarang menggunakan ancaman, intimidasi, dan hal-hal negatif lainnya termasuk unsur SARA dalam proses penagihan. Bahkan, OJK juga akan mengatur waktu penagihan bagi para penyelenggara kepada debitur, maksimal hingga pukul 20.00 waktu setempat.
Jadi tidak 24 jam. Maksimal sampai jam 8 malam,” tegasnya.
Agusman juga menegaskan, para penyelenggara wajib bertanggung jawab terhadap semua proses penagihan. Artinya, debt collector atau jasa penagih yang memiliki kontrak dengan pihak penyelenggara berada di bawah tanggung jawab penyelenggara.
“Jadi kalau ada kasus bunuh diri penyelenggara bertanggung jawab.” pungkasnya.
Sumber CNBC Indonesia