BERITA TANJAB TIMUR – Pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Dendang, khususnya di Desa Kota Kandis Dendang, Desa Catur Rahayu, dan Desa Jati Mulya, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, telah menjadi isu serius. Aktivitas ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menyimpang dari skema pengelolaan perhutanan berbasis masyarakat. Pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, seharusnya segera mengevaluasi izin pengelolaan hutan yang telah diterbitkan.
Hasil investigasi di lapangan mengungkap adanya degradasi hutan secara masif dan terorganisir. Aktivitas tersebut diduga hanya menguntungkan segelintir oknum pemegang izin atau kelompok tertentu. Praktik-praktik ini telah menyebabkan kerusakan ekosistem, hilangnya keanekaragaman hayati, dan konflik sosial di masyarakat setempat.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Tanjung Jabung Timur mengakui bahwa luas area hutan yang dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit terus meningkat. Selain itu, terjadi pula perpindahan nama pemegang izin dalam Surat Keputusan (SK) pengelolaan hutan, yang menimbulkan pertanyaan terkait legalitas dan transparansi proses tersebut.
Menurut Kepala KPH, pihaknya telah melaporkan perkembangan ini ke Dinas Kehutanan Provinsi, Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan di Medan, serta ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Salah satu laporan yang menjadi perhatian adalah keberadaan perkebunan sawit PT Gontor di kawasan Hutan Konservasi Alam (CA). Namun, hingga kini belum ada tindakan konkret dari pihak berwenang. Kepala KPH menyampaikan rasa frustrasinya, menyebut situasi ini sebagai bukti kekuatan para mafia lahan yang sulit disentuh hukum.
Kepala KPH juga mengaku “ketar-ketir” menghadapi situasi ini, karena lemahnya tindakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi. Ia berharap adanya langkah tegas dari pemerintah pusat untuk mengatasi permasalahan ini dan menegakkan aturan.
Di sisi lain, masyarakat setempat menilai bahwa kekuasaan para mafia lahan yang menggunakan modus pengelolaan hutan lebih besar daripada kekuatan pemerintah. Mereka merasa tidak berdaya menghadapi situasi ini, mengingat dampaknya langsung merugikan kehidupan mereka, baik secara sosial maupun ekonomi.
Sebagai pimpinan yang bertanggung jawab atas pengelolaan hutan, Kepala KPH memiliki tugas penting, termasuk merancang, mengkoordinasikan, dan mengevaluasi program kerja pengelolaan hutan. Ia juga bertugas menyelaraskan program dengan kebijakan tingkat nasional dan provinsi serta memastikan keberlanjutan sumber daya hutan.
Selain itu, Kepala KPH bertanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan teknis operasional di bidang perlindungan hutan, pemberdayaan masyarakat, dan pengelolaan keuangan. Namun, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum telah menjadi tantangan utama yang harus dihadapi.
Dalam situasi seperti ini, evaluasi menyeluruh terhadap izin pengelolaan hutan sangat diperlukan. Pemerintah harus berkomitmen untuk melindungi kawasan hutan, memberdayakan masyarakat lokal, dan menindak tegas pihak-pihak yang terbukti melanggar hukum.
Dengan upaya bersama antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga penegak hukum, diharapkan pengalihan fungsi hutan yang merusak dapat dihentikan. Langkah ini penting untuk menjaga keberlanjutan ekosistem hutan dan kesejahteraan masyarakat yang bergantung padanya.
(Salaming)