BERITA JAMBI – Gubernur Jambi, Al Haris, telah menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025 sebesar 6,5 persen. Dengan kenaikan ini, UMP Jambi meningkat dari Rp3.037.122 pada tahun 2024 menjadi Rp3.234.535 pada tahun 2025.
Besaran UMP ini ditentukan melalui rapat pleno Dewan Pengupahan Provinsi Jambi yang melibatkan serikat buruh, pengusaha, dan Pemerintah Provinsi Jambi. Al Haris menandatangani keputusan ini pada 11 Desember 2024, tepat pada tenggat waktu yang ditetapkan.
Al Haris mengungkapkan bahwa kenaikan Rp197.412 dari tahun sebelumnya merupakan hasil perhitungan berdasarkan aturan dan kesepakatan. “UMP Jambi tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp3.234.535,” ujarnya.
Selain UMP, pemerintah juga menetapkan kenaikan Upah Minimum Sektoral (UMS) untuk sektor pertambangan dan perkebunan. Kenaikan ini mempertimbangkan kondisi kerja khusus di masing-masing sektor.
Pekerja sektor pertambangan mendapatkan kenaikan UMS sebesar 3 persen, sehingga upah mereka menjadi Rp3.299.270. Ini merupakan kebijakan baru yang diterapkan untuk sektor ini, mengingat tingginya risiko kerja yang dihadapi para pekerja.
Untuk sektor perkebunan, UMS ditetapkan sebesar Rp3.242.600. Nilai ini 0,25 persen lebih tinggi dibandingkan UMP yang berlaku, sebagai bentuk apresiasi terhadap pekerja di sektor tersebut.
Gubernur Al Haris menjelaskan bahwa keputusan mengenai UMP dan UMS ini merujuk pada pedoman yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja tahun 2024. Selain itu, keputusan ini juga telah disetujui oleh Dewan Pengupahan Provinsi Jambi.
Setelah penandatanganan oleh gubernur, UMP Jambi 2025 akan diajukan ke Kementerian Tenaga Kerja untuk mendapatkan pengesahan resmi. Proses ini menjadi tahap akhir sebelum kebijakan diterapkan.
Menurut Al Haris, kenaikan UMP Jambi 2025 sesuai dengan kebijakan nasional yang menetapkan kenaikan minimal 6,5 persen. “Intinya, kita tetap mengikuti arahan nasional agar tidak di bawah standar tersebut,” ungkapnya.
Dengan kenaikan ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja di Jambi, khususnya yang bekerja di sektor-sektor dengan risiko tinggi seperti pertambangan dan perkebunan. Kebijakan ini juga diharapkan mampu mendorong perekonomian daerah.