10 Cara Seru Buat ‘Healing’ Bareng Temen di Bulan Oktober Kepsek SDN 179/X Nipah Panjang Membantah Adanya Larang Berjualan Diaera Sekolah Dihadapan Warga, Paslon Agus-Nazar Sampaikan Program Unggulan Dukungan Semakin Kuat, Desa Bungo Tanjung dan Jambu Siap Menangkan Pasangan Calon Agus – Nazar Sipropam Polres Tebo Gelar Gaktiplin di Polsek Tebo Ilir

Home / Berita / Daerah

Jumat, 28 April 2023 - 22:32 WIB

Kesultanan Jambi: Sejarah, Raja-raja, Masa Kejayaan, dan Keruntuhan

Pangeran Ratu Martaningrat memutuskan untuk menyerah kepada Belanda tahun 1904.(Wikipedia)

Pangeran Ratu Martaningrat memutuskan untuk menyerah kepada Belanda tahun 1904.(Wikipedia)

Kesultanan Jambi adalah kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Provinsi Jambi pada abad ke-17 hingga awal abad ke-20.

Sebelum berubah menjadi kesultanan, namanya dikenal dengan Kerajaan Melayu Jambi.

Kerajaan Jambi didirikan oleh Datuk Paduko Berhalo bersama istrinya, Putri Selaras Pinang Masak, pada 1460.

Pada 1615, kerajaan ini resmi menjadi kesultanan setelah Pangeran Kedah naik takhta dan menggunakan gelar Sultan Abdul Kahar.

Di bawah Sultan Abdul Kahar pula, Kesultanan Jambi mencapai masa kejayaan, di mana Jambi menjadi salah satu perniagaan utama di Sumatera.

Setelah berkuasa hampir empat abad, kerajaan runtuh setelah raja terakhir dari Kesultanan Jambi, Sultan Thaha Syaifuddin, wafat di tangan Belanda pada 1904.

Sejarah berdirinya

Sejak dikuasai Kerajaan Sriwijaya, Jambi telah dianggap memiliki peluang yang baik dalam bidang perdagangan.

Kerajaan Sriwijaya pun diakui sebagai penguasa sukses, khususnya dalam membangun hubungan perdagangan.

Pada 1460, Datuk Paduko Berhalo, yang konon berasal dari Turki, mendirikan Kerajaan Melayu Jambi bersama istrinya, Putri Selaras Pinang Masak.

Meski letak Kerajaan Jambi berada di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi, tetapi keberadaannya tidak luput dari jangkauan Kerajaan Majapahit.

Kala itu, Kerajaan Jambi berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, yang berpusat di Jawa Timur. Pada akhir abad ke-16, Kerajaan Majapahit runtuh, bersamaan dengan tersiarnya agama Islam di Jambi.

Kerajaan Jambi secara resmi berubah menjadi kesultanan saat Pangerah Kedah naik takhta pada 1615 dengan gelar Sultan Abdul Kahar.

Raja-raja Kesultanan Jambi

• Datuk Paduko Berhalo dan Putri Selaras Pinang Masak (1460-1480)

• Orang Kayo Pingai (1480-1490)

• Orang Kayo Kedataran (1490-1500)

• Orang Kayo Hitam (1500-1515)

• Pangeran Hilang diair (1515-1540)

• Panembahan Rengas Pandak (1540-1565)

• Panembahan Bawah Sawo (1565-1590)

• Panembahan Kota Baru (1590-1615)

• Sultan Abdul Kahar (1615-1643)

• Pangeran Depati Anom/Sultan

BACA JUGA :  Jika Zumi Zola Berteduh di Bawah Pohon Beringin dan Al Haris Bertahan di PAN, Suara PAN Jambi Terbelah

• Abdul Djafri/Sultan Agung (1643-1665)

• Raden Penulis/Sultan Abdul

• Mahji/Sultan Ingologo (1665-1690)

• Raden Tjakra Negara/Pangeran Depati/Sultan Kiyai Gede (1690-1696)

• Sultan Mochamad Syah (1696-1740)

• Sultan Sri Ingologo (1740-1770)

• Sultan Zainuddin/Sultan Anom Sri Ingologo (1770-1790)

• Mas’ud Badaruddin/Sultan Ratu Sri Ingologo (1790-1812)

• Sultan Mahmud Muhieddin/Sultan Agung Sri Ingologo (1812-1833)

• Sultan Muhammad Fakhruddin bin Mahmud (1833-1841)

• Sultan Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud (1841-1855)

• Sultan Thaha Syaifuddin bin Muhammad Fakhruddin (1855-1858)

• Sultan Ahmad Nazaruddin bin Mahmud (1858-1881)

• Sultan Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman (1881-1885)

• Sultan Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad (1885-1899)

• Sultan Thaha Syaifuddin bin Muhammad Fakhruddin (1900-1904)

• Sultan Abdurrachman Thaha Syaifuddin (sebagai simbol adat) (2012-2021)

Masa kejayaan 

Sejak pertengahan abad ke-16, para penguasa Jambi mengadakan perdagangan lada yang menguntungkan dengan bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda.

Kegiatan perdagangan itu juga melibatkan bangsa China, Melayu, Makassar, dan Jawa. Kehidupan ekonomi Kesultanan Jambi yang makmur akibat kegiatan perdagangan inilah yang mampu membawa kerajaan menuju masa kejayaan di bawah Sultan Abdul Kahar. Sultan Kesultanan Jambi yang pertama ini berhasil membawa kerajaannya menjadi makmur berkat monopoli perdagangan lada dan pengenaan bea ekspor. Bahkan, pada 1616, ibu kota Jambi sudah dipandang sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatera, setelah Aceh. Berdasarkan data VOC, Sultan Jambi meraup keuntungan 30-35 persen dari lada yang terjual. Sultan Abdul Kahar juga dikatakan sebagai penguasa yang kuat, bahkan tidak takut dengan tuntutan Raja Johor dan tidak pernah mau bekerja sama dengan VOC.

Keruntuhan Kesultanan Jambi

Pada 1643, Sultan Abdul Kahar memilih turun takhta dan kedudukannya digantikan oleh Pangeran Depati Anom atau Sultan Agung.

Hal ini dilakukan setelah VOC menyodorkan perjanjian dagang kepada Kesultanan Jambi, dengan tujuan melakukan monopoli. Sultan Abdul Kahar menolak perjanjian tersebut dan memilih mengundurkan diri dari takhta kerajaan.

BACA JUGA :  Pilkada Serentak, Pj Bupati Tebo: Jaga Lisan dan Jari

Setelah Pangeran Depati Anom, perjanjian pertama Kesultanan Jambi dengan VOC pun dilakukan, yang perlahan membawa kemunduran bagi kerajaan. Pada 1680-an, Jambi mulai kehilangan kedudukannya sebagai pelabuhan lada utama setelah pertempuran dengan pihak Johor. Selain itu, adanya penyelundupan dan utang, juga menjadi penyebab runtuhnya Kesultanan Jambi, yang diperparah dengan campur tangan Belanda dalam politik kerajaan.

Ketika berada di bawah jeratan Belanda, intrik di dalam kerajaan semakin membuat Jambi terpuruk dan rakyatnya dilanda kemiskinan.

Pada 1855, Sulyam Mazaruddin wafat dan kedudukannya sebagai sultan digantikan oleh putranya, Taha Safiuddin. Berbeda dari penguasa sebelumnya, Sultan Taha menolak keras perjanjian dengan Belanda.

Bahkan, utusan Belanda yang beberapa kali datang untuk menyodorkan perjanjian kepadanya, selalu dihindari. Akibatnya, Belanda marah dan melayangkan serangan pada 1858, hingga berhasil menguasai istana.

Dalam serangan itu, Sultan Taha melarikan diri, sehingga Pangeran Prabu kemudian diangkat oleh Belanda menjadi penguasa baru di Kesultanan Jambi dengan gelar Sultan Ahmad Nazaruddin. Ketika Sultan Taha dalam pelarian, Kesultanan Jambi sempat dipimpin oleh beberapa sultan di bawah pengaruh Belanda.

Kesempatan datang ketika terjadi kekosongan kekuasaan pada 1899, setelah Sultan Zainuddin dicopot oleh Belanda.

Namun, Belanda masih berkuasa dengan menempatkan seorang residen untuk menempati posisi sultan.

Riwayat Kesultanan Jambi benar-benar berakhir saat Sultan Taha dibunuh oleh Belanda di persembunyiannya pada 1904. Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindai Belanda pada 1906. Kemudian, pada 2012, Sultan Abdurrachman Thaha Syaifuddin dinobatkan sebagai penerus Kesultanan Jambi, tetapi hanya sebagai simbol adat dan tidak memiliki kekuatan politik.

Peninggalan Kesultanan Jambi

• Makam Taman Rajo-Rajo

• Masjid Agung Al-Falah Jambi Istana

• Abdurrahman Thaha Saifuddin

• Rumah Batu Olak Kemang

Penulis : Verelladevanka Adryamarthanino

Sumber Kompas.com

Share :

Baca Juga

Politik

Romi-Sudirman Orasi Politik Dihadapan Ribuan Tim Koalisi Dan Tim Pemenangan

Berita

Kapolri Tunjuk Irjen Karyoto Jadi Kapolda Metro Jaya

Berita

Warga Kampung Legok Dihebohkan Penemuan Granat

Berita

Virtual,PJ Bupati Tebo Rakor Pengendalian Inflasi Bersama Mendagri

Berita

Sultan Harap Bisa Ucapkan Terima Kasih Secara Langsung Kepada Kapolri

Politik

Delapan Belas Program Ungulan Calon Bupati Hj Dilla Hich – Muslimin Tanja

Bungo

Kasus Usir Wartawan, Terus Bergulir, Oknum Manajemen Pegasus Segera Diperiksa Polisi

Politik

Sederet Tokoh Di Tim Pemenangan Romi-Sudirman Kabupaten Tebo