JAMBI – antara Suku Anak Dalam (SAD) Kelompok Temenggung Pemubar di Kabupaten Tebo, Jambi, dengan PT Sari Aditya Loka (SAL) terus menjadi perhatian publik. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jambi mendesak pihak perusahaan segera mengambil langkah konkret untuk mengakhiri konflik yang berlarut-larut tersebut.
Ketua WALHI Jambi, Oscar Anugrah, menegaskan bahwa keberadaan masyarakat adat SAD telah diakui secara jelas, baik identitas maupun sejarahnya, yang sejak lama hidup berpindah di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Ia menilai, hutan merupakan pusat kehidupan dan identitas masyarakat adat tersebut.
“Hutan bagi warga SAD adalah rumah dan tempat mencari makan. Sejak dulu, alam menjadi bagian dari identitas mereka. Kini, sebagian besar hutan telah berubah menjadi perkebunan korporasi, membatasi ruang gerak mereka. Perubahan ini memengaruhi pola mencari makan dan memicu potensi konflik,” ujarnya, Minggu (10/8/2025).
Oscar mendesak PT SAL untuk tidak menutup mata dan justru memperkuat edukasi serta pemberdayaan bagi masyarakat adat di sekitar wilayah operasionalnya. Menurutnya, langkah ini akan membawa manfaat jangka panjang bagi perusahaan maupun warga.
Ia juga menekankan kewajiban perusahaan dalam menyalurkan tanggung jawab sosial (CSR), mulai dari bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi, hingga pelestarian lingkungan melalui konservasi dan penanaman pohon. “Semua harus dilakukan secara berkelanjutan, dengan edukasi masyarakat adat sebagai prioritas,” tambahnya.
Terkait tuduhan penggunaan massa bayaran oleh perusahaan, WALHI Jambi menyatakan keprihatinannya. “Perusahaan tidak boleh menggunakan cara yang berpotensi membahayakan masyarakat adat. Kami berharap ini menjadi yang terakhir, tanpa ada korban lagi,” tegas Oscar.
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT SAL belum memberikan tanggapan resmi. CDO PT SAL, Kartubi Ismail, yang dikonfirmasi melalui pesan singkat WhatsApp, belum memberikan respons atas tuduhan tersebut.
Kalau mau, saya bisa buatkan versi berita ini yang lebih fokus pada angle lingkungan dan hak masyarakat adat supaya cocok untuk media nasional yang concern pada isu-isu keberlanjutan.
elompok Temenggung Pemubar di Kabupaten Tebo, Jambi, dengan PT Sari Aditya Loka (SAL) terus menjadi perhatian publik. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jambi mendesak pihak perusahaan segera mengambil langkah konkret untuk mengakhiri konflik yang berlarut-larut tersebut.
Ketua WALHI Jambi, Oscar Anugrah, menegaskan bahwa keberadaan masyarakat adat SAD telah diakui secara jelas, baik identitas maupun sejarahnya, yang sejak lama hidup berpindah di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Ia menilai, hutan merupakan pusat kehidupan dan identitas masyarakat adat tersebut.
“Hutan bagi warga SAD adalah rumah dan tempat mencari makan. Sejak dulu, alam menjadi bagian dari identitas mereka. Kini, sebagian besar hutan telah berubah menjadi perkebunan korporasi, membatasi ruang gerak mereka. Perubahan ini memengaruhi pola mencari makan dan memicu potensi konflik,” ujarnya, Minggu (10/8/2025).
Oscar mendesak PT SAL untuk tidak menutup mata dan justru memperkuat edukasi serta pemberdayaan bagi masyarakat adat di sekitar wilayah operasionalnya. Menurutnya, langkah ini akan membawa manfaat jangka panjang bagi perusahaan maupun warga.
Ia juga menekankan kewajiban perusahaan dalam menyalurkan tanggung jawab sosial (CSR), mulai dari bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi, hingga pelestarian lingkungan melalui konservasi dan penanaman pohon. “Semua harus dilakukan secara berkelanjutan, dengan edukasi masyarakat adat sebagai prioritas,” tambahnya.
Terkait tuduhan penggunaan massa bayaran oleh perusahaan, WALHI Jambi menyatakan keprihatinannya. “Perusahaan tidak boleh menggunakan cara yang berpotensi membahayakan masyarakat adat. Kami berharap ini menjadi yang terakhir, tanpa ada korban lagi,” tegas Oscar.
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT SAL belum memberikan tanggapan resmi. CDO PT SAL, Kartubi Ismail, yang dikonfirmasi melalui pesan singkat WhatsApp, belum memberikan respons atas tuduhan tersebut.***